Di dalam kehidupan ini, manusia kebiasaannya mempunyai brlbagai keinginan,
impian dan cita-cita yang senantiasa di idamkan terlaksana dan tercapai juga
akhirnya. Namun dari pada keberbagaian keinginan, impian dan cita-cita itu,
semuanya menjurus ke arah menempa kemuliaan diri dan menikmati kebahagiaan
sejati serta kesejahteraan hakiki dalam hidup.
Ia adalah antara matlamat paling utama dan terakhir yang di gapai oleh setiap
insan yang menghuni bumi Allah ini.
Pengertian kemuliaan dan kebahagiaan juga berbeda antara satu orang dengan
yang lain. Secara umumnya, mulia dan bahagianya seseorang itu di nilai dengan
limpahan kemewahan harta benda yang berlonggok atau dengan taraf kedudukan dan
pangkat yang tinggi lagi istimewa di sisi masyarakat.
Namun, ada juga sebagian manusia berpendapat kemuliaan seseorang diukur
dengan kesempurnaan hidupnya dengan memiliki sebuah keluarga besar yang bahagia
dengan istri shalih dan anak pintar yang juga shalih. Tidak kurang juga segelintir
manusia menganggap kecantikan rupa paras dan keelokan tubuh badannya sudah
cukup untuk menjamin kemuliaan dan kebahagiaan seseorang.
Demikianlah antara berbagai tafsiran dari berbagai lapisan manusia makna
kemuliaan diri dan kebahagiaan yang sebenarnya. Manakala dari perspektif Islam,
Islam sebagai ad-Din yang diridhai Allah adalah paling sempurna dan lengkap
dengan panduan hidup untuk umat manusia umumnya dan kepada umat Islam
khususnya. Bertolak dari sini, Islam meletakkan matlamat utama di balik kejadian
manusia di atas muka bumi ini ialah sebagai hamba dan khalifah Allah.
Maksud sebagai hamba Allah ialah seseorang manusia yang beriman sewajib nya
tunduk dan patuh serta menjunjung segala titah perintah Allah sama ada berupa
suruhan dan larangan-Nya.
Pengertian khalifah Allah pula membawa makna bahwa manusia dilantik Allah
untuk mentakbir dan memakmurkan alam ini dengan berpandukan kepada ketentuan
Ilahi iaitu al-Quran dan hadis.
Kedua-dua matlamat itu yang digalas di bahu manusia membawa agenda yang satu yaitu untuk menempah kemuliaan di sisi Allah dan menikmati kebahagiaan sejati
di dunia dan akhirat.
Sering juga di perkatakan bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna dari
segi kejadian dan penciptaan nya.
Kenyataan ini memang ada kebenarannya apatah lagi ia di perkuatkan lagi
dengan ayat suci al-Qur'an yang melengkapkan lagi kedudukan manusia sebagai
makhluk yang mulia dan terpilih di sisi Allah.
Timbul pula persoalan di benak fikiran manusia yaitu apakah dia ciri-ciri
atau jenis kemuliaan yang sebenarnya dan kebahagiaan hakiki menurut kaca mata
Islam yang selama ini menjadi rebutan ramai manusia di alam ini.
Sebenarnya Islam adalah ad-Din yang memiliki keunikan dan keistimewaannya
yang tersendiri. Antara keunikannya ialah Islam adalah agama yang bersifat
sederhana dan anjal dalam semua keadaan dan tempat.
Maksud sederhana dan anjal di sini ialah Islam bersifat seimbang antara
tuntutan duniawi dan ukhrawi.
Dengan lain perkataan, Islam tidak hanya menitikberatkan hal keagamaan dan
akhirat semata-mata, bahkan Islam juga tidak meminggirkan perkara keduniaan
dari genggaman manusia.
Sebaliknya Islam menggalakkan umatnya agar menumpukan perhatian kepada
kedua-dua tuntutan duniawi dan ukhrawi sesuai dengan titah perintah Allah yang
termaktub dalam surah al-Qasas, ayat 77 bermaksud: “
Dan tuntutlah dengan
harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan pahala dan
kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagianmu (keperluan
dan bekalanmu ) dari dunia.”
Selanjutnya, Islam pada asasnya tidak melihat kemuliaan seseorang manusia
itu dari segi lahiriah saja dengan rupa parasnya, harta kekayaan, pangkat yang
tinggi dan taraf kedudukannya di sisi masyarakat. Sebaliknya, Islam mempunyai
neraca piawaiannya tersendiri dengan menilai kemuliaan seseorang itu dari segi
batinnya dengan imannya, kebersihan hatinya dan ketakwaan.
Rasulullah pernah bersabda maksudnya:
“Bukanlah kekayaan itu kerana
banyak harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan hatinya. (Hadis
riwayat Bukhari dan Muslim).”
Sehubungan itu, Allah ada menjelaskan dalam satu hadis Qudsi mengenai
kekayaan yang sebenarnya menurut Islam. Allah berfirman maksudnya:
“Sekiranya
kamu taat mengerjakan apa-apa yang Aku wajibkan kepadamu, maka kamu termasuk ke
dalam golongan manusia yang paling tekun beribadah; dan jika kamu menjauhi
apa-apa yang Aku larang kepadamu, maka kamu termasuk ke dalam kalangan manusia
yang paling memelihara dirinya dari keburukan dan kejahatan; dan jika kamu rasa
memadai dan reda terhadap apa yang telah Aku berikan kepadamu,
maka kamu termasuk dalam kalangan manusia yang paling kaya.” (Hadis
riwayat al-Khara’iti) .
Pernah satu ketika baginda berkata kepada Abu Zar:
“Wahai
Abu Zar! Apakah kamu menyangka bahawa seorang yang banyak harta itu adalah
orang yang kaya. Sebenarnya kaya seseorang itu adalah kerana kaya hatinya dan
juga miskinnya seseorang itu kerana miskin hatinya. Ingatlah bahawa sesiapa
yang kaya berada di dalam hatinya, maka seluruh isi dunia ini tidak akan dapat
membahayakan dirinya daripada apa yang dimilikinya. Dan sesungguhnya yang boleh
membahayakan dirinya adalah sifat ketamakannya.”
Jelaslah di sini kemuliaan seseorang itu dinilai dari hatinya yang kaya
dengan iman, takwa dan perhiasan sifat-sifat mahmudah yang menggilap hatinya.
Inilah antara rahsia kemuliaan dan kebahagiaan yang pernah dirintis oleh
generasi Rasulullah dan generasi sahabat selepasnya.
Dengan memperkasakan dirinya dengan pengisian hatinya yang sarat dengan iman
dan ketakwaan mampu menelusuri segala pancaroba yang merintangi titian hidupnya
dengan semangat waja.
Lebih dari itu, iman dan takwa mampu mencipta keajaiban demi keajaiban yang
tidak pernah dicipta oleh sesiapa pun sebelum ini.
Maka tidak hairanlah generasi sahabat mampu merentasi gurun Sahara yang
kering kontang hanya dengan bekalan iman dan takwa yang bertakhta di hati
hingga berupaya melakarkan episod gemilang dalam diari sejarah Islam sepanjang
zaman.
Untuk mencapai kemuliaan dan kebahagiaan itu, hati seseorang Muslim perlu
digilap dan dibajai dengan iman dan takwa kepada Allah.
Kemudian dihiasi pula dengan sifat terpuji yang akan menyuluhi sudut hatinya
agar ia dapat menyerlahkan ketrampilan akhlak luhur di pentas kehidupan.
Inilah dia ciri-ciri Muslim sejati yang dijamin Allah bakal menjadi penghuni
syurga yang penuh kenikmatan di akhirat.
Keseimbangan
Antara Dunia Dan Akhirat
Masalah
ekonomi umat Islam rata-rata pada saat sekarang belum menggembirakan, meskipun
terdapat banyak negara Islam yang dianugerahkan sumber daya alam yaitu minyak
dan gas bumi yang berlimpah-ruah, terutama di Timur Tengah, belum ada satu
negara Islam pun yang layak digolongkan dalam kategori negara maju. Hanya ada
lima negara Islam, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6 juta jiwa yang
saat ini dikategorikan sebagai negara yang berpendapatan tinggi akan tetapi
masih jauh dari kategori negara maju. Sedangkan lebih dari 20 negara Islam
dengan jumlah penduduk melebihi 600 juta jiwa, tergolong dalam kategori negara
berpendapatan rendah dan terbelenggu dalam kemiskinan. Ini mengindikasikan
bahwa cuma setengah persen dari total 1200 juta umat Islam saja yang bisa
dikatakan kaya sementara lebih dari 50 persen umat Islam berada dalam garis
kemiskinan. Kemudian pertanyaan, adakah fenomena ini sejalan dengan ajaran
Islam? atau apakah Islam itu sendiri menginginkan umatnya hidup dalam keadaan zuhud?
Kalau kita kembali membuka lembaran
sejarah Islam masa lalu, sungguh kita akan tercengang betapa Islam telah mampu
merubah nasib umatnya yang dahulunya mundur, naik pada peringkat teratas hingga
menjadi sebuah masyarakat yang sangat tinggi tamaddunnya. Masyarakat Islamlah
yang telah mencapai puncak kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam
memperluas dan mendalami berbagai disiplin ilmu, misalnya sains, matematika,
astronomi, kedokteran, sastra, filsafat, mantik, ilmu politik, kemiliteran,
pembangunan ekonomi dan sebagainya. Masyarakat Islam jugalah yang telah berjaya
dalam mengarungi samudera dan menjelajahi bumi bukan sekedar memperluas wilayah
dan daerah jajahan saja akan tetapi lebih dari itu menyebarkan Islam dan ilmu
pengetahuan di bumi Allah dimana saja mereka berpijak.
Akan tetapi apa yang telah terjadi pada umat Islam saat sekarang, terutama
setelah dijajah selama berkurun waktu yang mengakibatkan pudar keunggulannya.
Masyarakat Islam menjadi loyo, letih dan lesu, bagaikan seekor burung yang
sayapnya patah yang tidak mampu lagi untuk bangkit dan mengepakkan sayapnya,
tidak mampu untuk mengembangkan apa yang pernah diraihnya.
Sekarang faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemunduran umat Islam pada
saat sekarang ini? Apakah hanya faktor penjajahan saja – seperti disebut di
atas - atau ada faktor lain? Mungkinkah karena umat Islam hanya lebih
mementingkan kehidupan akhirat saja dan sudah melupakan kehidupan duniawinya?
Apakah umat Islam sudah melalaikan ajaran Islamnya sendiri yang notabene
sebagai agama atau cara hidup yang sempurna?
Untuk menjawabnya mari kita berpijak dari firman Allah SWT "Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniwi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashash: 77).
Untuk menjelaskan ayat di atas saya akan mencoba menguraikannya ke dalam 3
kategori utama sesuai dengan makna kandungan ayat, yaitu:
1. Kehidupan Akhirat Adalah Tujuan
Allah SWT berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat".
Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan
hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi
setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan
sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya" (QS.
Al-Ankabut: 64).
Lalu, apa arti kita hidup di dunia?... Dunia tempat kita mempersiapkan diri
untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat
terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan,
setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian
tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup untuk keperluan dunia?
Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan
hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat.
Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar
dalam urusan dunia.
Coba kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam
tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah
berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita
nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering
mudah berterima kasih kepada seorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada
Allah yang senantiasa memanja kita dengan nikmat-nikmatNya, kita sering kali
memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan
selalu menghabiskan waktu kita.
Orang-orang bijak mengatakan bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan
kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya
siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika
perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang
diam di WC sepanjang hari, dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari
dibangunnya rumah itu. Begitu juga sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia
sibuk mengurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup.
Sementara akhirat dikesampingkan.
Kemudian bagaimana mensinkronkan atau menjaga keseimbangan antara kehidupan
dunia dan akhirat? Mari kita ikuti kategori ke dua sebagai sambungan penjelasan
ayat di atas.
2. Berusaha Memperbaiki Kehidupan Dunia
Allah SWT berfirman: ”Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari
kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu".
Ayat di atas dengan jelas bahwasannya Allah memerintahkan umat Islam untuk
selalu berusaha menggapai kebahagiaan akhirat, tetapi jangan melupakan
kehidupan di dunia ini. Meskipun kebahagiaan dan kenikmatan dunia bersifat
sementara tetapi tetaplah penting dan agar tidak dilupakan, sebab dunia adalah
ladangnya akhirat.
Masa depan — termasuk kebahagiaan di akhirat — kita, sangat bergantung pada apa
yang diusahakan sekarang di dunia ini. Allah telah menciptakan dunia dan
seisinya adalah untuk manusia, sebagai sarana menuju akhirat. Allah juga telah
menjadikan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang
paling baik amalnya, siapa yang paling baik hati dan niatnya.
Allah mengingatkan perlunya manusia untuk mengelola dan menggarap dunia ini
dengan sebaik-baiknya, untuk kepentingan kehidupan manusia dan keturunannya.
Pada saat yang sama Allah juga menegaskan perlunya selalu berbuat baik kepada
orang lain dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Allah mengingatkan: ”Tidakkah
kalian perhatikan bahwa Allah telah menurunkan untuk kalian apa-apa yang ada di
langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin”
(QS. Luqman: 20).
Untuk mengelola dan menggarap dunia dengan sebaik-baiknya, maka manusia
memerlukan berbagai persiapan, sarana maupun prasarana yang memadai. Karena itu
maka manusia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya
keterampilan yang mencukupi dan profesionalisme yang akan memudahkan dalam
proses pengelolaan tersebut.
Meskipun demikian, karena adanya sunatullah, hukum sebab dan akibat, tidak
semua manusia pada posisi dan kecenderungan yang sama. Karena itu manusia apa
pun; pangkat, kedudukan dan status sosial ekonominya tidak boleh menganggap
remeh profesi apa pun, yang telah diusahakan manusia. Allah sendiri sungguh
tidak memandang penampakan duniawiah atau lahiriah manusia. Sebaliknya Allah
menghargai usaha apa pun, sekecil apa pun atau sehina apa pun menurut pandangan
manusia, sepanjang dilakukan secara profesional, baik, tidak merusak dan
dilakukan semata-mata karena Allah.
Allah hanya memandang kemauan, kesungguhan dan tekad seorang hamba dalam
mengusahakan urusan dunianya secara benar. Allah SWT menegaskan bahwa:”Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah kedudukan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah
kondisi, kedudukan yang ada pada diri mereka sendiri (melalui kerja keras dan
kesungguhannya” (QS. Ar-Ro’d: 11).
Allah juga mengingatkan manusia karena watak yang seringkali serakah, egois
/sifat ananiyah dan keakuannya, agar dalam mengelola dunia jangan sampai
merugikan orang lain yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan pertumpahan
darah (perang) antar sesamanya. Manusia seringkali karena keserakahannya
berambisi untuk memiliki kekayaan dan harta benda, kekuasaan, pangkat dan
kehormatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan hak-hak Allah, rasul-Nya
dan hak-hak manusia lain. Karena itu Allah mengingatkan bahwa selamanya manusia
akan terhina dan merugi, jika tidak memperbaiki hubungannya dengan Allah
(hablun minallah) dan dengan sesamanya-manusia (hablun minannaas).
Inilah landasan yang penting bagi terciptanya harmonisme kehidupan masyarakat.
Ia juga merupakan landasan penting dan prasyarat masyarakat yang bermartabat
dan berperadaban menuju terciptanya masyarakat madani yang damai, adil, dan
makmur.
3. Menjaga Lingkungan
Sebagai sarana hidup, Allah SWT melarang manusia membuat kerusakan di muka
bumi. Mereka boleh mengelola alam, tetapi untuk melestarikan dan bukan
merusaknya. Firman Allah dari sambungan ayat di atas: "Berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".
Allah SWT menyindir kita tentang sedikitnya orang yang peduli pada kelestarian
lingkungan di muka bumi, firmanNya; "Maka mengapa tidak ada dari
umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang
daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil
" (QS. Huud ayat 116).
Dalam kaidah Ushul Fikih dikatakan, Ad-dlararu yuzalu: segala bentuk
kemudharatan itu mesti dihilangkan. Nabi SAW bersabda : "La dlarara
wala dlirara", artinya ialah tidak boleh membahayakan diri sendiri
maupun membahayakan orang lain.
Dari sini dapat dibuat peraturan teknis untuk mencegah kerusakan lingkungan
yang pada akhirnya membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Pelanggaran
terhadap hal itu, di samping berdosa juga harus dikenai hukuman ta'zir;
mulai dari denda, cambuk, penjara, bahkan hukuman mati tergantung tingkat
bahaya yang ditimbulkannya.
Karena itu, bila kita ingin terhindar dari berbagai bencana harus ada revolusi
total tentang pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Cara pandang
kapitalistik dan individualistik yang ada selama ini harus diubah. Ini karena
menganggap alam sekitarnya sebagai faktor produksi telah membuat orang rakus,
serakah, dan sekaligus oportunis.
Pandangan hidup untuk berkompetisi berdasarkan pada teori Survival on the fittes
membuat manusia merusak harmoni kehidupan. Ketidak percayaan pada nikmat Allah
yang tiada terhitung membuat manusia membunuh sesama makhluk Allah demi
memuaskan kebutuhannya.